Selasa, 14 Februari 2012
laskar IPNU IPPNU Peganden: Integritas antara budaya,moralitas dan selektivitas (CANGKIR)
CITRA DIRI IPNU-IPPNU
A. Sejarah Berdirinya IPNU-IPPNU
1. Periode Perintis
Munculnya organisasi IPNU-IPPNU adalah bermula dari adanya jam’iyahyang bersifat local atau kedaerahan, wadah yang berupa kumpulan pelajar dan pesantren yang kesemuanya dikelola dan diasuh oleh ulama’. Jam’iyah tersebut tumbuh dan berkembang diberbagai daerah hamper diseluruh belahan bumi Indonesia misalnya jam’iyah dzibaan, yasinan dll, yang kesemuanya memiliki jalur tertentu dan satu sama lain tidak berhubungan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan nama yang terjadi didaerah masing-masing, mengingat lahirnya pun atas inisiataf sendiri-sendiri.
Di Surabaya putra dan putri Nahdlotul Ulama’ mendirikan perkumpulan yang diberi nama Tsamrotul Mustafidzin pada tahun 1936. Tiga tahun kemudian tahun 1939 lahi persatuan santri Nahdlotul Ulama’ atau PERSANU. Tahun 1941 lahir persatuan murid NO (PERMONO) pada saat itu bangsa indonesia mengalami pergolakan melawan penjajah jepang. Sehingga terbentuk IMANU atau Ikatan Murid Nahdlotul Ulama’ di kota malang pada tahun 1945.
Di Madura berdiri Ijtimaut Tholabiyah pada tahun 1945. Meskipun bersifat pelajar keenam Jam’iyah atau perkumpulan tersebut tidak berdiam diri, ikut pula dalam perjuangan melawan penjajah.
Tahun 1950 di Semarang berdiri ikatan Mubaligh Nahdlotul Ulama’ dengan anggota masih remaja. Pada tahun 1953 di Kediri berdiri PERPANU (Persatuan Pelajar Nahdlotul Ulama’) pada tahun yang sama di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’ (IPNU) pada tahun 1954 di Medan berdiri Ikatan Pelajar Mahdlotul Ulama’ (IPNU) dan masih banyak yang tak tercantum dalan naskah ini.
Titik awal inilah yang menginspirasi para perintis pendiri IPNU-IPPNU untuk menyatukan langkah dalam satu perkumpulan.
2. Periode Kelahiran
Aspek-aspek yang melatar belakangi IPNU-IPPNU berdiri antara lain:
a. Aspek Ideologis
Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama islam dan berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah, sehingga untuk melestarikan faham tersebut perlu di siapkan kader-kader penerus yang nantinya mampu mengkoordinir, mengamalkan dan mempertahankan faham tersebut dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan beragama.
b. Aspek Paedagogis / Pendidikan
Adanya keinginan untuk menjembatani kesenjangan antara pelajar umum dan pelajar pesantren.
c. Aspek Sosiologis
Adanya persamaan tujuan, kesadaran dan keikhlasan akan pentingnya suatu wadah pembinaan bagi generasi penerus para ulama’ dan penerus perjuangan bangsa.
Gagasan untuk menyatukan langkah tersebut dalam muktamar ma’arif pada tanggal 20 jumadil akhir 1373 H, bertepatan dengan tanggal 24 pebruari 1954 di Semarang. Usulan ini dipelopori oleh pelajar-pelajar dari Yogyakarta, Solo dan Semarang yang diwakili oleh Sofyan Cholil Mushal, Abd. Ghoni, Farida Ahmad, Maskup dan Tolkhah Mansur. Muktamar menerima usulan tersebut dengan suara bulat dan mufakat dilahirkan oleh suatu organisasi yang bernama IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’) dengan ketua M. Tolchah Mansur serta pada tanggal itu ditetapkan hari lahir IPNU.
Lahirnya IPNU merupakan organisasi termuda dilingkungan Nahdlotul Ulama’. Sebagai langkah awal untuk memasyarakatkan IPNU, maka pada tanggal 29 April sampai 1 Mei 1954 diadakan pertemuan di Surakarta yang dikenal dengan Kolida / pertemuan lima daerah yaitu meliputi Yogyakarta, Semarang, Kediri, Surakarta, dan Jombang, menetapkan sebagai pucuk pimpinan sekarang pimpinan pusat serta merencanakan usaha untuk mendapatkan legitimasi dari Nahdlotul Ulama’ secara formal. Usaha mencari legitimasi ini diwujudkan dengan mengirimkan delegasi pada Muktamar UN ke X di Surabaya pada tanggal 8-14 September 1954. Delegasi tersebut dipimpin oleh M. Tolchah Mansur, Abdul Ghani, Farida Ahmad dengan perjuangan yang optimal akhirnya IPNU mendapat pengakuan dengan syarat beranggotakan putra saja, sedangkan putri akan diadakan organisasi tersendiri.
Pada tanggal 28 Pebruari sampai 3 Mart 1955 IPNU mengadakan konggres pertama di Malang, bersamaan itu pula di Solo terbentuklah Ikatan Pelajar Putri Nahdlotul Ulama’ (IPPNU) tepatnya pada tanggal 2 Maret 1955, dan pada tanggal itu pula ditetapkan sebagai hari lahir IPPNU.
Status IPNU-IPPNU dari konggres I sampai VI masih merupakan anak asuh LP Ma’arif, baru kemudian setelah konggres VI di Surabaya tanggal 20 Agustus 1966, IPNU-IPPNU meminta hak otonom pada Nahdlotul Ulama’ dengan maksud agar dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Pengakuan otonom ini diberikan dalam Muktamar Nahdlotul Ulama’ di Bandung pada tahun 1967 yang dicantumkan dalam AD / ART Nahdlotul Ulama’ pasal 10 ayat 1 dan 9 dalam Muktamar Nahdlotul Ulama’ di Semarang tahun 1979, status IPNU-IPPNU terdapat pada pasal 2 AD Nahdlotul Ulama’.
B. Perubahan Besar IPNU-IPPNU
Perubahan mendasar dengan merubah akronim dari awal berdiri sampai sekarang telah mengalami tig kali. Hal ini dikarenakan oleh situasi dan kondisi yang berkembang, pengaruh eksternal terhadap perubahan tak bisa dinafikan. Ekses politik yang berasal dari bias ketakutan penguasa terlihat jelas.
Eksistensi IPNU-IPPNU memang tidak bisa dilepaskan dari desain Nahdlotul Ulama’, termasuk ekses dari Improvisasi Politik Nahdlotul Ulama’ ketika menjadi partai politik (1954-1984). Puncaknya ketika Orde Baru berusaha menancapkan Hegemoni kekuasaannya di sektor pendidikan, IPNU
dipaksa memisahkan diri dari lembaga pendidikan sebagai basis utamanya. Maka pada konggres X di Jombang, IPNU terpaksa mengubah kepanjangan akronim menjadi Ikatan Putra Nahdlotul Ulama’. Perubahan nama ini membawa konsekuensi pada perubahan Orientasi dan bidang garap (IPNU-IPPNU) Nahdlotul Ulama’.
Ketika gerakan rakyat berhasil melahirkan (pinjam bahasa) reformasi pada tahun 1998 dan mengakibatkan terbukanya kran kebebasan ekspresi rakyat, muncul “Desakan” untuk menegaskan kembali orientasi gerakan IPNU seperti mandat dan misi awal berdiri. Dalam perspektif Nahdlotul Ulama’, penegasan orientasi IPNU dilakukan pertama kali dengan mengembalikan akronim IPNU seperti pada awal berdirinya, menjadi Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama’. Keputusan tersebut telah ditetapkan dalam konggres XIV IPNU di Surabaya, tanggal 19-24 Juni 2003.
C. Citra Diri IPNU-IPPNU
a. Hakikat IPNU-IPPNU
IPNU-IPPNU adalah wadah perjuangan putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk mensosialisasikan komitmen nilai-nilai kebangsaan, keislaman, keilmuan, kekaderan, dan keterpelajaran dalam upaya penggalian dan pembinaan potensi sumber daya anggota, yang senantiasa mengamalkan kerja nyata demi tegaknya ajaran islam Ahlussunah Wal Jama’ah dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila UUD ’45.
b. Orientasi
Orientasi IPNU-IPPNU berpijak pada kesemestaan organisasi dan anggotanya untuk senantiasa menempatkan pergerakan dan zona keterpelajaran dengan kaidah “belajar, berjuang, dan bertaqwa”, yang bercorak dasar dengan wawasan kebangsaan, keislaman, kekaderan, dan keterpelajaran.
- Wawasan Kebangsaan
Yaitu wawasan yang dijiwai oleh azaz kerakyatan yang dipimpin oleh hikmay kebijaksanaan, yang mengakui kebinekaan sosial budaya, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Hakekat dan martabat manusia yang memiliki komitmen dan kepedulian terhadap nasib bangsa dan Negara berlandaskan prinsip keadilan persamaan dan demokrasi.
- Wawasan Keislaman
Yaitu menempatkan ajaran agama islam sebagai sumber motivasi dan inspirasi dalam memberikan makna dan arah pembangunan manusia. Ajaran islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin yang menyempurnakan dan memperbaiki nilai-nilai kemanusiaan. Karwena itu dalam bermasyarakat haruslah bersikap Tawashut dan I’tidal, menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bersikap membangun dan menghindari laku Tathoruf (Ekstrem, melaksanakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kedzoliman), Tasamuh manusia dan lingkungan, amar ma’ruf nahi munkar, memiliki kecenderungan untuk melakukan usaha perbaikan serta mencegah terjadinya kerusakan harkat kemanusiaan dan kerusakan lingkunga, mandiri, bebas, terbuka dan bertanggung jawab dalam berfikir, bersikap dan bertindak.
- Wawasan Keilmuan
Menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk mengembangkan kecerdasan anggota dan kader, agar menjadi kader-kader yang memiliki komitmen terhadap ideologi, cita-cita perjuangan dan organisasi, bertanggungjawab dalam mengembangkan dan membentengi organisasi, juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang menghayati dan mengamalkan ajaran islam ala Ahlussunah Wal Jama’ah, memiliki komitmen terhadap ilmu pengetahuan, serta memiliki kemampuan mengembangkan organisasi kepemimpinan, kemandirian dan kepopuleran.
- Wawasan Keterpelajaran
Wawasan yang menempatkan Organisasi dan anggota pada pemantapan diri sebagai Center Of Excellence pemberdayaan sumberdaya manusia terdidik dn berilmu, berkeahlian dan visioner yang diikuti kejelasan misi sucinya, sekaligus strategi dan operasionalisasi yang berpihak kepada kebenaran, kejujuran serta amar ma’ruf nahi munkar. Wawasan ini meniscayakan karakteristik organisasi dan anggotanya untuk senantiasa memiliki hasrat ingin tahu, belajar tarus menerus dan mencintai masyarakat belajar. Mempelajari daya analisis, daya sistesis pemikiran, agar dapat membaca realitas dan dinamika kehidupan yang sesungguhnya, terbuka menerima perubahan, pandangan dan cara-cara barun pendapat baru serta pendapat yang berbeda, menjunjung tinggi nilai, norma, kaidah dan tradisi serta sejarah keilmuan serta berorientasi kemasa depan.
D. Posisi IPNU-IPPNU
Intern
IPNU-IPPNU sebagai perangkat dan badan otonom Nahdlotul Ulama’, secara kelembagaan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan badan-badan otonom lain, yaitu memiliki tugas utama melaksanakan kebijakan Nahdlotul Ulama’, khususnya yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Masing-masing badan otonom hanya dapat dibedakan dengan melihat orientasi target group (kelompok binaan) dan bidang garapan masing-masing.
Ekstern
IPNU-IPPNU adalah bagian dari generasi muda Indonesia, yang memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup bangsa dan Negara republic Indonesia dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya dan cita-cita perjuangan Nahdlotul Ulama’ serta cita-cita bangsa Indonesia.
Fungsi
IPNU-IPPNU berfungsi sebagai :
1. Wadah berhimpun putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk melanjutkan semangat dan nilai-nilai Nahdliyah.
2. Wadah komunikasi pura dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk menggalang ukhuwah islamiyah dan mengembangkan syari’at islam.
3. Wadah kaderisasi putra dan putri Nahdlotul Ulama’ untuk mempersiapkan kader-kader bangsa.
4. Wadah aktualisasi putra dan Putri UN dalam pelaksanaan dan pengembangan syari’at islam.
Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran panggilan dan pembinaan (target group) IPNU-IPPNU adalah setiap putra dan putri bangsa yang syarat keanggotaan, debagaimana ketentuan dalam PADA dan PRT IPNU-IPPNU.
E. Sikap dan Nilai
Sikap dan nilai-nilai yang harus dikembangkan anggota IPNU-IPNU adalah sikap dasar keagamaan dan nilai-nilai yang bersumber dari sikap kemasyarakatan Nahdlotul Ulama’ yaitu :
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran islam
b. Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi
c. Menjunjung tinggi sikap keikhlasan dalam berkhidmat dan berjuang
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-Ukhuwah), persatuan (al-Ittihad) serta kadis mengasihi
e. Meluhurkan kemuliaan moral (al-Akhlakul Karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-Shidqu) dalam berpikir,bersikap dan bertindak
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan Negara
g. Menjunjung tinggi nilai-nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah sebagai ibadah kepada Allah SWT
h. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya
Selalu bersikap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia.
Rabu, 23 Maret 2011
Sejarah NU
Latar belakang internasional
Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.
Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.
Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.
Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.
Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.
Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.
Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.
Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.
Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.
Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan jika Kongres Al-Islam tidak mau menekan Ibnu Sa’ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai Wahab, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah madzhab dengan Ibnu Sa’ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama Nahdlatoel ‘Oelama
Pada Februari 1924, pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan tentang teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di Istanbul sudah sejak abad ke-19 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia muslim. Pada akhir abad ke-19, klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau berdasarkan fakta-fakta sejarah, diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur Tengah.
Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam praktiknya tidak lebih dari figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah menyebabkan banyak masyarakat muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen—sekalipun hanya bersifat simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang gelar khalifah.
Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husein (yang menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916). Dia membentuk semacam dewan penasehat khalifah, termasuk di antaranya dua orang Asia Tenggara yang bermukim di Mekkah, dan mengadakan sebuah kongres haji (mu’tamar al-hajj) di Mekkah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada 1920-an. Para pesertanya gagal mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husein. Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, Abdul Aziz Ibnu Sa’ud, menyerbu Makkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya. Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa’ud, sementara Husein—yang sudah melarikan diri ke luar negeri—tak punya kekuasaan sama sekali.
Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif penyelenggaraannya berasal dari para ulama Al-Azhar, yang didorong oleh Raja Mesir, Fu’ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka, Rasyid Ridha, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada Sarekat Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia saat itu. Namun kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.
Dalam pandangan Ibnu Sa’ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan terpilihnya Raja Fu’ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan pembicaraan tentang haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh dunia Islam bersedia ikut serta.
Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu di mana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres umat Islam. Di tahun-tahun 1922-1926, para aktifis muslim dari berbagai organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut Kongres Al-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis terlalu banyak.
Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi pembicaraan mengenai khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum tradisionalis ke Kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara Kairo dan Makkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rezim Sa’udi yang baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Tidak satupun dari kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridha, adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum tradisionalis Indonesia merasa khawatir. Bagaimanaun juga, Ibnu Sa’ud dan pengikutnya adalah kaum Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya, pada awal abad ke-20, kaum Wahabi banyak menghancurkan banyak makam di dalam dan di sekitar kota tersebut dan memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktik-praktik keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang sangat mencemaskan.
Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena keterlibatan Rasyid Ridha di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan Wahabi. Namun, pemimpin Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu’ad dalam kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk menguasai dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik, hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibnu Sa’ud. Kaum tradisionalis juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan Hijaz merupakan masalah yang lebih penting dari pada semua permasalahan khilafah.
Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibnu Sa’ud bahwa dia akan menghormati madzhab-madzhab fikih ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah—di mana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar—sejak lama telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi Kiai biasanya menghabiskan beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana. Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam jika fikih Syafi’i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan menghilangkan kesempatan kaum muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.
Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa’ud agar melindungi praktik-praktik tradisional yang tidak mereka setujui. Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum muslim tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itu pun berakhir tanpa ada keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kogres Al-Islam kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah. Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan. Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer (Muhammadiyah). Di luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru dari Sumatera Barat mengirimkan dua utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.
Langganan:
Komentar (Atom)
